Introduction
Dampak pertumbuhan populasi perkotaan akan meningkatkan konsumsi energi, emisi kendaraan, dan aktivitas yang menghasilkan panas, yang akan memperburuk Suhu Permukaan Tanah atau Land Surface Temperature (LST) (Halefom et al., 2024). Konsekuensi dari hal ini mencakup peningkatan penggunaan energi, penurunan kualitas udara, dan risiko kesehatan masyarakat. Mempelajari Urban Heat Island (UHI) merupakan isu krusial untuk mencapai keseimbangan lingkungan dan sosial. Hal ini dapat menjadi referensi bagi pemerintah dalam perencanaan kota berdasarkan perubahan lahan, khususnya di wilayah tropis (Sari et al., 2024).
Kota Yogyakarta merupakan pusat perkotaan budaya dan pendidikan yang sedang mengalami pertumbuhan kota yang signifikan. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2019-2039, Kawasan Perkotaan Yogyakarta telah ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN). Hal ini akan didukung oleh pengembangan transportasi massal perkotaan dan infrastruktur lainnya. Fenomena ini akan menyebabkan alih fungsi lahan dan memicu urbanisasi karena daya tarik kota tersebut. Urbanisasi dan perubahan penggunaan lahan ini akan mengurangi Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan meningkatkan suhu permukaan (Handayani et al., 2024). Peningkatan lahan terbangun tanpa diimbangi dengan penambahan ruang hijau akan menyebabkan suhu permukaan kota meningkat, khususnya di area padat penduduk dan aktivitas tinggi.
Studi ini bertujuan untuk mengeksplorasi penerapan integrasi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) terhadap fenomena termal di Kota Yogyakarta. Tujuan penelitian ini adalah untuk memetakan distribusi spasial indeks kelembaban termal guna merumuskan strategi mitigasi berbasis analisis spasial. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi pada perencanaan kota yang lebih responsif terhadap perubahan iklim dan keberlanjutan lingkungan.
Method
Penelitian ini menggunakan integrasi remote sensing dan SIG dengan memanfaatkan komponen band spesifik dari citra satelit LANDSAT 8 OLI/TIRS tahun 2025 di Kota Yogyakarta.
Sumber: Analisis Data, 2025
Langkah-langkah penelitian adalah sebagai berikut: (1) Tinjauan Pustaka, dengan mencari landasan teori dari jurnal internasional bereputasi dan situs web resmi pemerintah Indonesia untuk mengidentifikasi fenomena THI di Kota Yogyakarta. (2) Pengumpulan Data, menggunakan data sekunder yang diperoleh melalui laman website Amerika Serikat USGS dengan mengunduh citra LANDSAT 8 OLI/TIRS yang direkam pada tahun 2025. (3) Pengolahan Data, analisis THI di Kota Yogyakarta menggunakan berbagai alur kerja di QGIS 3.40, mencakup perhitungan indeks Top of Atmosphere (TOA) merupakan radiasi yang direkam oleh sensor satelit, PV (tutupan vegetasi/piksel), Em (kemampuan memancarkan energi termal), LST (suhu permukaan tanah), dan THI (indeks kelembaban termal). (4) Analisis SINI AI, dengan menggunakan fitur yang terdapat pada laman Mapid untuk menentukan sebaran lokasi dengan indeks kenyamanan tertinggi hingga terendah.
Result & Discussion
Gambar 1. Administrasi Kota Yogyakarta (Sumber: Analisis Data, 2025)
Profil suhu kelembaban di Kota Yogyakarta saat ini menempatkannya pada rentang "nyaman" (comfortable). Secara spesifik, Kemantren Klitren mencatat suhu puncak kelembaban pada 23.92°C. Sebaliknya, pembacaan suhu paling sejuk yang turun hingga 20.69°C, teramati di area Pakuncen. Kecenderungan nilai THI untuk meningkat terutama disebabkan oleh laju urbanisasi yang semakin cepat di dalam wilayah metropolitan (Wati & Fatkhuroyan, 2017). Strategi yang efektif untuk memitigasi tekanan panas umumnya belum memadai, sering kali terkendala oleh rendahnya edukasi masyarakat, keterbatasan kapasitas finansial, dan kurangnya komitmen pemerintah untuk secara langsung menangani dampak kesehatan yang diakibatkan oleh kondisi iklim ekstrem.
Menurut Voogt & Oke (2003), upaya untuk mengukur strategi tersebut dapat diketahui dari Bentuk Kota (The Shape of City) meliputi material, geometri, ruang terbuka hijau, dan Fungsi Kota (The Function of City) seperti penggunaan energi, penggunaan air, polusi (Giguerre, 2012). Strategi mitigasi untuk meminimalkan suhu dan kelembaban sebagai berikut: 1) Green wall (dinding hijau) adalah upaya penambahan vegetasi pada dinding bangunan, 2) Green roof (atap hijau) adalah upaya penambahan vegetasi pada atap bangunan, 3) Penghijauan area parkir dengan menanam vegetasi di sekitar area parkir atau membuat area parkir dengan tutupan vegetasi alih-alih aspal, 4) Vegetasi di sekitar bangunan dengan membangun taman kecil atau menanam vegetasi di sekeliling bangunan, 5) Atap reflektif dan dinding reflektif dengan memodifikasi material atap atau dinding untuk meningkatkan albedo, dan 6) Perkerasan albedo tinggi dengan meningkatkan albedo pada trotoar atau jalan, seperti memberikan pigmen yang memantulkan cahaya pada aspal dan beton.
Gambar 2. Distribusi Termal di Kota Yogyakarta (Sumber: Analisis Data, 2025)
Pada area dengan vegetasi minimal, penambahan vegetasi dianggap sebagai langkah terbaik untuk menekan suhu, keberadaan vegetasi mampu menurunkan rata-rata suhu udara sebesar 2°C (Susca et al., 2011) hingga 4°C (Fawzi, 2017). Selain itu, penggunaan material dengan albedo tinggi pada bangunan atau jalan juga dapat menurunkan suhu karena material tersebut sedikit menyerap panas. Ruang terbuka hijau dalam bentuk vegetasi atau bentuk lainnya menjadi bagian penting dalam menurunkan dampak UHI (Rotem-Mindali et al., 2015). Di kota-kota besar di kawasan Asia, seperti Singapura, Kuala Lumpur, dan Hong Kong, upaya untuk mengurangi dampak UHI telah banyak dilakukan, seperti penggunaan atap hijau (green roofs) yang terbukti efektif dalam mengatasi masalah UHI (Aflaki et al., 2017).
Gambar 3. Distribusi Kenyamanan Termal di Kota Yogyakarta (Sumber: Analisis Data, 2025)
Melalui analisis bantuan SINI AI, telah direkomendasikan bahwa unit pengisian bahan bakar SPBU Pertamina dan Shell, terminal serta pusat perbelanjaan memiliki menghasilkan suhu termal yang cukup signifikan dari aktivitas kendaraan dan manusia. Selain itu, guna menekan fenomena tersebut perlu adanya green space guna menekan suhu udara lingkungan sekitar dan perlu adanya lokasi kebugaran untuk mendukung kenyamanan termal secara optimal di Kota Yogyakarta. Berdasarkan analisis SINI AI, menginterpretasikan bahwa Kota Yogyakarta bagian selatan, seperti Sorosutan, Prenggan, Rejowinangun, dan Suryodiningratan cenderung memiliki kenyamanan termal cukup tinggi dibandingkan lainnya.
Kondisi demografi juga berpengaruh, bahwa jumlah penduduk produktif lebih rentan berdampak menghasilkan termal akibat mobilitasnya lebih tinggi dibandingkan nonproduktif. Penduduk usia produktif memiliki korelasi yang signifikan terhadap peningkatan fenomena UHI dibandingkan kelompok non-produktif. Hal ini dikarenakan kelompok usia produktif merupakan penggerak utama tingginya intensitas aktivitas antropogenik, seperti penggunaan transportasi bermotor, konsumsi energi di sektor komersial dan industri, serta mobilitas harian yang tinggi (Sailor, 2011).
Conclusion
THI tertinggi ditemukan di Kemantren Klitren, dengan suhu 23.92°C yang merupakan area lahan terbangun padat permukiman. Kondisi ini menunjukkan bahwa kerapatan vegetasi dan material bangunan memiliki dampak signifikan terhadap suhu perkotaan. THI terendah ditemukan di bagian barat, khususnya di Kemantren Pakuncen. Area ini dilintasi sebuah badan air yang mampu menyerap panas dan mengurangi potensi dari UHI. Selain itu, Kota Yogyakarta bagian selatan, seperti Sorosutan, Prenggan, Rejowinangun, dan Suryodiningratan cenderung memiliki kenyamanan termal cukup tinggi dibandingkan lainnya, dimana wilayah tersebut padat terhadap penduduk usia produktif yang merupakan salah satu penggerak utama tingginya intensitas aktivitas antropogenik di Kota Yogyakarta.
Reference
Aflaki, A., Mirnezhad, M., Ghaffarianhoseini, A., Ghaffarianhoseini, A., Omrany, H., Wang, Z.-H., & Akbari, H. (2017). Urban heat island mitigation strategies: A state-of-the-art review on Kuala Lumpur, Singapore and Hong Kong. Cities, 62, 131–145. https://doi.org/10.1016/j.cities.2016.09.003
Fawzi, N. I. (2017). Mengukur urban heat island menggunakan penginderaan jauh, kasus di kota yogyakarta. Majalah ilmiah globe, 19(2), 195. https://doi.org/10.24895/mig.2017.19-2.603
Giguere M., (2012). Urban Heat Island Mitigation Strategies. Institut National De Sante Publique: Quebec.
Halefom, A., He, Y., Nemoto, T., Feng, L., Li, R., Raghavan, V., Jing, G., Song, X., & Duan, Z. (2024). The Impact of Urbanization-Induced Land Use Change on Land Surface Temperature. Remote Sensing, 16(23), 4502. https://doi.org/10.3390/rs16234502
Handayani, O. D. F. H., Fathurrohmah, S., & Kurniawati, A. I. (2024). Pengaruh Perkembangan Kawasan Terbangun terhadap Urban Heat Island di Kawasan Perkotaan Yogyakarta. Matra 5(2). 63-76.
Sailor, D. J. (2011). A review of methods for estimating anthropogenic heat and moisture emissions in the urban environment. International Journal of Climatology, 31(2), 189–199. https://doi.org/10.1002/joc.2106
Rotem-Mindali, O., Michael, Y., Helman, D. & Lensky, I.M. (2015). The role of local landuse on the urban heat island effect of Tel Aviv as assessed from satellite remote sensing, Applied Geography, 56, 145–153.
Sailor, D. J. (2011). A review of methods for estimating anthropogenic heat and moisture emissions in the urban environment. International Journal of Climatology, 31(2), 189–199. https://doi.org/10.1002/joc.2106
Sari, M. F., Prabowo, A. J. T. P., Kristiawan, D. D., Fadillah, R., & Husna, V. N. (2023). Dinamika urban heat island Kota Yogyakarta. Prosiding Seminar Nasional FISIP UNNES.
Susca, T., Gaffin, S. R., & Dell’Osso, G., R. (2011). Positive effects of vegetation: Urban heat island and green roofs. Environmental Pollution, 159(8–9), 2119–2126.
Voogt, J. A., & Oke, T. R. (2003). Thermal remote sensing of urban climates. Remote Sensing of Environment, 86(3), 370–384. https://doi.org/10.1016/s0034-4257(03)00079-8
Wati, T., & Fatkhuroyan, F. (2017). Analisis Tingkat Kenyamanan Di DKI Jakarta Berdasarkan Indeks THI (Temperature Humidity Index). Jurnal Ilmu Lingkungan, 15(1), 57-63. https://doi.org/10.14710/jil.15.1.57-63