Indonesia sedang menghadapi musim banjir yang bukan hanya soal hujan deras. Dalam beberapa pekan terakhir gelombang banjir dan longsor menerjang banyak provinsi (terutama di Pulau Sumatra) dengan jumlah korban dan orang yang terdampak yang sangat besar. Angka-angka resmi yang dipublikasikan oleh BNPB dan badan internasional mencatat ratusan korban jiwa, ratusan yang hilang, serta jutaan orang terdampak atau mengungsi; laporan terbaru pada awal Desember 2025 menyebut lebih dari 3 juta orang terdampak dan angka korban jiwa yang terus diperbarui oleh otoritas.
Fenomena ini memperlihatkan sebuah pola menyedihkan: banjir kini bukan lagi kejadian lokal yang cepat berlalu, melainkan sebuah masalah nasional yang mengganggu kehidupan sehari-hari, rantai pasok, dan mobilitas warga. Di kota-kota besar seperti Bandung, banjir yang sebenarnya tidak berasal dari hujan ekstrem di skala nasional tetap bisa membuat jalan utama tergenang, angkutan terhenti, dan kemacetan berjam-jam. Laporan lokal pada awal Desember 2025 melaporkan puluhan ribu jiwa terdampak banjir di Bandung Raya (Dayeuhkolot, Bojongsoang) hingga aktivitas warga dan distribusi barang terganggu.
Mengapa hal ini bisa terjadi meskipun tidak semua kejadian diawali oleh curah hujan "ekstrem"? Jawabannya ada pada kondisi fisik lanskap dan tata ruang yang semakin rapuh. Tutupan hutan dan lahan resapan air berkurang secara signifikan di banyak DAS (daerah aliran sungai), sedangkan urbanisasi dan betonisasi kota memperkecil area yang mampu menyerap hujan. Data deforestasi dan tutupan pohon nasional menunjukkan hilangnya tutupan pohon dalam skala besar selama dua dekade terakhir, yang mengurangi kapasitas lanskap menahan limpasan. Dengan kata lain, ketika hujan turun (walau tidak dalam intensitas teramat ekstrem) air tidak tertahan lagi di hulu dan segera berubah menjadi arus yang memacu banjir di hilir.
Di level lokal, bukti kehancuran fungsi hulu menjadi nyata. Di Aceh Utara, misalnya, desa-desa seperti Gedumbak dilaporkan mengalami kerusakan parah: ratusan rumah hilang tersapu banjir dan longsor, serta penduduk yang hilang masih dalam pencarian. Banyak saksi dan laporan menautkan kehancuran ini pada proses erosi dan runtuhnya lereng yang sebelumnya mengalami penebangan atau alih guna lahan. Laporan-laporan sejenis menegaskan bahwa tragedi besar seringkali merupakan puncak dari akumulasi perubahan lanskap yang berlangsung bertahun-tahun.
Kaitan antara tindakan manusia (seperti deforestasi, pembukaan lahan untuk agribisnis atau tambang, dan pembangunan tanpa zona resapan yang memadai) dan frekuensi serta dampak banjir membuat pernyataan "bencana alam" terasa tidak cukup. Banyak pihak menekankan bahwa apa yang kita lihat sekarang adalah "bencana buatan manusia" dalam arti fungsi ekosistem yang rusak membuat fenomena alam menjadi bencana sosial. Analisis dari lembaga lingkungan dan laporan media internasional juga menyorot peran perubahan iklim dan pola atmosfer yang memperberat hujan di wilayah tropis, sehingga kombinasi antropogenik + atmosfer menghasilkan dampak yang jauh lebih besar.
Di sinilah peran ilmu spasial, GIS (Geographic Information Systems) dan pemodelan hidrologi, menjadi krusial. GIS memungkinkan kita menggabungkan peta tutupan lahan, kemiringan lereng, jaringan sungai, dan data curah hujan untuk memetakan zona rawan banjir, memodelkan aliran air, dan merancang prioritas konservasi atau relokasi. Dengan data spasial yang baik, otoritas dapat memetakan koridor air, menentukan area yang wajib dijaga sebagai resapan, serta merancang sistem peringatan dini yang terhubung ke peta risiko. Pendekatan ini mengubah respons dari reaktif menjadi proaktif: bukan hanya menanggulangi banjir yang sudah terjadi, tetapi mencegah dan menurunkan dampaknya sejak hulu.
Upaya pencegahan memang menuntut konsistensi kebijakan dan kolaborasi multi-sektor. Rehabilitasi hutan, penegakan moratorium terhadap pembukaan kawasan lindung yang ilegal, perencanaan kota yang menjamin ruang terbuka hijau dan sumur resapan, serta investasi pada infrastruktur hijau adalah bagian dari resep jangka panjang. Namun keberhasilan langkah-langkah ini bergantung pada komitmen politik, pendanaan, dan partisipasi masyarakat. Di beberapa kasus, janji pembenahan pasca-bencana telah disampaikan oleh pejabat, tetapi kritik dari organisasi lingkungan menegaskan bahwa evaluasi izin usaha dan tindakan tegas terhadap perusak hutan perlu menjadi prioritas nyata, bukan hanya retorika.
Sementara pencegahan berjalan, data cepat dan akurat tetap diperlukan untuk penanganan darurat. Di sinilah kontribusi masyarakat lewat platform peta kolaboratif menjadi sangat berguna. Peta interaktif tidak hanya membantu relawan dan pemerintah menyalurkan bantuan ke titik-titik yang benar-benar membutuhkan; ia juga menjadi sumber data spasial yang dapat digunakan peneliti untuk memperbaiki model risiko.
Di sisi kemanusiaan, kita tidak boleh melupakan aspek paling dasar: keselamatan dan pemulihan warga. Korban kehilangan rumah, akses kesehatan, dan mata pencaharian membutuhkan bantuan darurat, serta dukungan jangka panjang untuk pemulihan ekonomi dan rehabilitasi lingkungan. Doa dan dukungan moral untuk warga terdampak harus disertai tindakan nyata, dari donasi terarah hingga partisipasi data spasial yang mendukung operasi bantuan.
Akhirnya, pertanyaan yang harus terus kita tanyakan pada diri sendiri dan pada pembuat kebijakan adalah: apakah kita akan membiarkan pola ini berulang? Atau apakah sekarang saatnya mengubah paradigma penataan ruang, memperkuat tata kelola sumber daya alam, dan menjadikan data spasial serta partisipasi komunitas sebagai fondasi kebijakan mitigasi bencana? Jawaban nyata membutuhkan keberanian politik, keterlibatan publik, dan prioritas pada kelestarian ekosistem. Jika semua elemen itu bersatu, kita dapat mengurangi risiko banjir yang kini terasa "di mana-mana".
Kami mengajak Sobat MAPID untuk berkontribusi pada Peta Interaktif Banjir Sumatra 2025, laporkan lokasi banjir, kondisi jalan, kebutuhan darurat, atau foto lapangan melalui form di mapid.co.id/PetaInteraktifSumatra. Data Anda, sekecil apa pun, bisa mempercepat respon dan menambah kualitas peta risiko.
Silakan laporkan atau cek peta di: mapid.co.id/PetaInteraktifBanjirSumatra2025. Bagikan informasi lokasi, foto kondisi, titik akses terputus, dan kebutuhan mendesak, setiap entri membantu menyelamatkan waktu dan nyawa.
- Badan Nasional Penanggulangan Bencana [BNPB]. (2025). Rekapitulasi Terdampak Bencana: Bansor Sumatera 2025 (Dashboard). BNPB. Geoportal Data Bencana Indonesia
- Reuters. (2025, December 3). Flood-hit Indonesian regions run low on fuel, funds for relief efforts. Reuters. Reuters
- The Guardian. (2025, December 2). The death toll from Indonesia floods passes 700 as 1 million evacuated. The Guardian. The Guardian
- BMKG. (2025). Prospek cuaca mingguan: 02–08 Desember 2025 (peringatan curah hujan tinggi). BMKG. BMKG
- KLHK / Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2022). Status Lingkungan Hidup Indonesia 2022 (laporan). KLHK. KLHK
- Global Forest Watch. (2024). Indonesia: Tree cover loss & deforestation dashboards. Global Forest Watch. Global Forest Watch
- Detikcom. (2025, December 6-7). Desa Gedumbak Aceh Utara tersapu banjir; ratusan rumah hancur. Detik. detiknews
- Detik / Lokal & PRFM / Pikiran Rakyat (2025). Laporan banjir Bandung Raya (Dayeuhkolot, Bojongsoang). PRFM News
- NASA Earth Observatory. (2025). Floods in Indonesia - satellite imagery & rainfall accumulation maps. NASA.